Hari Sabtu, 26 Mei 2012 adalah hari yang sangat mendebarkan bagi
siswa kelas XII. Karena hari ini, pengumuman Ujian Nasional (UN)
serentak dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh semua sekolah
setingkat SMA/MA.
Prosentase kelulusan UN tahun ini meningkat 27%. Menurut Mendikbud
Muhammad Nuh, “Dibanding tahun lalu, ada kenaikan dari sisi kelulusan
sekitar 27 persen,”. Secara Nasional, tahun lalu tingkat kelulusan siswa
SMA 99,22% dan tahun ini 99,50%. Sebuah Angka Kelulusan yang sangat
fantastis secara kuantitatif.
Budaya yang Salah dari Generasi Pendahulu
Untuk merayakan kelulusannya, para siswa seperti biasanya setiap tahun,
selalu melakukan aksi corat-coret baju seragam mereka. Agar lebih seru,
mereka pun berkumpul di gerbang sekolah dan mulai melakukan aksi
corat-coret dan berkonvoi dengan sepeda motor mereka di sepanjang
jalanan di kota mereka. Rasanya tidak puas kalau mereka tidak turun ke
jalan raya yang sangat ramai dan padat. Maka mereka pun masuk ke jalan
raya dan menghadang para pengguna jalan raya. Lampu Stop (traffic light)
tidak mereka gubris, yang penting mereka senang. Bisa dibayangkan
bagaimana macetnya jalan raya di kota-kota besar ibukota propinsi atau
kabupaten. Dengan bangganya, mereka memamerkan wajah urakan mereka. Bak
Lady Gaga, mereka pun mulai menyemprot seragam mereka dengan spidol dan
pilox. Rambut mereka menjadi pelangi dan pakaian mereka compang-camping.
Wajah mereka di make-up bak setan kesiangan atau seperti zombi, mayat
yang baru bangkit dari kuburan. Anak-anak lugu hasil pendidikan
Indonesia ini seolah tanpa salah melakukan apa saja mau mereka di
jalanan. Tidak ada sebenarnya yang mereka cari. Mereka hanyalah generasi
pengekor, hanya ikutan-ikutan dan sepertinya harus “melestarikan”
budaya salah ini dari budaya kakak kelasnya tahun lalu dan untuk diikuti
oleh adik kelasnya di tahun-tahun berikutnya.
Yang patut disayangkan, malah banyak terjadi tawuran dengan senjata
tajam, terjadi kecelakaan di jalanan, minum minuman keras, dan
sebagainya, hingga ada yang tewas selama konvoi. Dan yang mengerikan
buat orang tua, seusai pengumuman, beberapa siswa di suatu kota
melakukan pesta seks. Nauzubillah. Apakah ini pertanda kiamat sudah
dekat?
Inilah potret wajah pendidikan di Indonesia sebagai hasil lemahnya
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sangat minimnya jam-jam pelajaran
agama di sekolah-sekolah negeri ditengarai juga semakin menjauhkan para
siswa akan nilai-nilai moral, etika, budaya, dan meremehkan dosa.
Mereka cenderung ingin melanggar aturan. Mereka pun tuli dari nasehat
agama dan gurunya. Yang penting mereka bisa lulus dan happy. Inilah
pertanda telah lahirnya sebuah generasi instan, generasi copy paste, dan
masa bodoh. “Emangnya Gue Pikirin“, begitulah celoteh mereka kalau
dinasehati.
Angka Kelulusan sekedar Lipstik
Angka kelulusan yang mendekati angka sempurna 100% tentu saja sangat
membanggakan bagi pihak sekolah dan pejabat terkait yang merasa “telah
berhasil”. Itu artinya secara kuantiattif, siswa-siswa Indonesia sudah
pintar dan sudah cerdas. Tidak satu orang guru pun tentunya yang tidak
suka kalau muridnya lulus 100% asalkan itu merupakan hasil nyata dari
kerja guru yang telah mendidik muridnya selama 3 tahun. Namun, akan
menjadi tanda tanya, kalau ternyata perolehan nilai antara anak yang
cerdas dan yang tidak, ternyata terbalik. Banyak ditemukan, nilai 10
(nilai sempurna) diraih oleh siswa yang biasa-biasa saja. Tragisnya,
pernah terjadi anak yang pintar di sekolah tidak lulus ujian nasional.
Sudah pasti menjadi tanda tanya.
Tetapi jika mau jujur, jika semua guru di sekolah-sekolah di Indonesia
ditanya (atau dilakukan polling), apakah mereka yakin terhadap nilai
siswanya? Saya yakin, lebih banyak guru yang menjawah “Tidak Yakin”.
Kasus ini sudah terjadi di seluruh Indonesia. Anehnya juga, mata
pelajaran Matematika (yang dianggap sangat sulit oleh siswa) ternyata
banyak yang memperoleh nilai 8,00 sampai 10,00. Sementara nilai Bahasa
Indonesia (yang dianggap relatif mudah) justru lebih kecil perolehannya
(kisaran 3,00 sampai 7,00).
Jadi kebanggan terhadap tingginya angka kelulusan dan tingginya
perolehan nilai di setiap sekolah hanyalah kebanggan semu dan lipstik
semata. Sebuah angka yang disenangi oleh Para pejabat semisal kepala
dinas, bupati, gubernur, hingga menteri. Hakekat pendidikan yang rohnya
berisi penilaian proses, kejujuran, kerja keras, dan disiplin sepertinya
sudah tercerabut dari tubuh pendidikan di Indonesia. Maka lahirlah
output pendidikan “yang penting lulus”, “yang penting ikut senang”.
Kembali ke Sistem yang Lebih Baik
Pada kurikulum lama (1975, 1984, 1994) masih ada mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sekarang (Kurikulum KTSP) sudah
diganti dengan mata pelajaran Kewarganegaraan, yang seolah menghilangkan
roh moral. Jadi sebaiknya mata pelajaran agama dan moral pancasila
ditambah jamnya di sekolah. Selain itu, perlu juga ditambah pendidikan
budaya, etika, dan tata krama.
Untuk masalah penilaian dan penentuan kelulusan, lebih baik kembali
menggunakan sistem lama yaitu NILAI EBTANAS MURNI (NEM). Saat sistem
EBTANAS dan NEM diberlakukan, nilai NEM benar-benar mencerminkan nilai
murni dari siswa tanpa banyak “bantuan” atau pertolongan dari nilai
rapot atau lainnya. Penentuan kelulusan pun lebih fair dilakukan oleh
sekolah. Karena sekolah (para guru) jauh lebih tahu proses yang terjadi
selama mengajar dan mendidik siswanya. Siapa yang pantas dan tidak
pantas untuk lulus. Tidak saja berpatokan pada nilai kognitif (seperti
yang dilakukan pemerintah saat ini), tetapi juga psikomotorik, dan
afektif secara terpadu dan komprehensif.
sumber: edukasi.kompasiana.com